Banda Aceh — Kehadiran pengungsi Rohingya di Aceh menjadi isu yang dibahas dalam Forum konsilidasi dan koordinasi masyaraklat sipil, akademik, pemerintah Aceh dan tokoh masyarakat yang berlansung di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat Aceh pada Sabtu (29/6/2024). Pertemuan itu menghadirkan tiga pemantik diskusi, yakni dari Kesbangpol Aceh, ahli hukum dan dari Majelis permusyawaratan Ulama (MPU).
Forum konsolidasi itu dihadiri sekitar 50 peserta dari berbagai organisasi masyarakat. Pertemuan itu membahas polemic yang muncul terkait kehadiran pengungsi di Rohingya di Aceh yang terjadi sejak 2009.
Isu masukhya pengungsi Rohingya ini menjadi sangat penting, sebab dikuatirkan arus kedatangan mereka akan terjadi lagi mengingat nasib mereka masih terancam di negara asalnya, Myanmar.
Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional Kesbangpol Aceh, Dedy Andrian mengakui, saat ini pengungsi Rohingya merupakan salah satu masalah yang harus menjadi perhatian Aceh. Namun, kata Dedy Andrian, Pemerintah Aceh sama sekali tidak memiliki kewenangan apapun dalam menyelesaikan masalah tersebut.
“Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Pengungsi, Pemerintah provinsi sama sekali tidak punya kewenangan dalam menangani masalah itu. Bahkan pengalokasikan APBA juga tidak boleh. Penanganan pengungsi merupakan otoritas pemerintah pusat,” kata Dedi.
Oleh karena itu, ketika muncul tuntutan agar masalah pengungsi itu segera diselesaikan di tingkat lokal, Pemerintah Aceh tidak bisa berbuat apa-apa.
“Bagaimana pun juga Pemerintah Aceh harus bertindak sesuai hukum bukan dengan perasaan,” tegas Dedi. Pemerintah Aceh hanya bisa prihatin tatkala muncul pro kontra terhadap kehadiran pengungsi ini di Aceh.
Perpres 125 tahun 2016 justru lebih memberi ruang bagi Pemerintah Kab/kota untuk bertindak. Itupun kewenangan mereka hanya sebatas memberikan tempat penampungan sementara. Urusan lain tetap menjadi kewenangan pusat.
Dengan kondisi itu, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kab/kota sama sekali tidak bisa terlibat aktif dalam menangani persolaan pengungsi yang terus mengundang pedebatan di masyarakat.
Saat ini jumlah pengungsi Rohingya yang menetap di Aceh sebanyak 1.001 orang. Mereka ditampung di kamp yang ada di Pidie, Sabang, Aceh Utara, dan Aceh timur. Sementara 26 pengungsi yang sebelumnya ada di Maulaboh sudah melahirkan diri keluar dari Aceh.
Jumlah pengungsi yang sekarang menurun tajam dibanding yang masuk selama dua tahun terakhir. Data Kesbangpol menyebutkan, dalam dua tahun terakhir jumlah pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh mencapai 2.548 orang. Sebagian dari mereka sudah lari ke Malaysia atau ke luar Aceh.
Pengawasan terhadap etnis Rohingya itu selama di kamp pengungisn memang tidak terlalu ketat sehingga membuat mereka bebas keluar masuk kamp. Hal ini yang membuat mereka leluasa melarikan diri. Saat ini pengungsi tersisa sebanyak 1.001 orang berada dalam perlindugan dua lembaga PBB, yakni UNHCR dan IOM.
Nasib para pengungsi itu masih belum jelas, karena sejauh ini belum ada negara ketiga yang mau menerima mereka. Dedi Andrian menyebutkan kalau Aceh hanyalah daerah transit bagi pengungsi itu sebelum mendapatkan izin menetap di negara ketiga.
Dr Amrizal J Prang, pakar hukum dari Universitas Malikussaleh mengakui kalau masalah pengungsi Rohingya ini bukan persoalan yang harus ditangani Indonesia saja, tapi mesti ada tanggungjawab lembaga PBB di dalamnya, khususnya seperti UNHCR dan IOM.
Bahkan, tambah Amrizal, mereka bisa saja diusir kembali ke negara asalnya sebab Indonesia tidak termasuk negara yang meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 tentang Pengungsi. Namun hal itu tidak bisa dilakukan karena ada sisi kemanusiaan yang harus menjadi pertimbangan.
Kalau dikembalikan ke negara asalnya, para pengungsi itu pasti terancam menghadap kematian mengingat kekejaman masih mengintai mereka di negara asalnya. Sampai saat ini Pemerintah Myanmar tetap tidak mengakui kalau etnis Rohingya merupakan warga mereka.
Sebagai jalan keluarnya, Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 terkait penanganan pengungsi dari luar negeri.
“Masalahnya, pola penanganan pengungsi di Perpres itu tidak lengkap sehingga mengabaikan kewenangan daerah,” kata Amrizal. Atas dasar itu, Amrizal menyarankan sebaiknya Perpres itu direvisi dengan mmeberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi dalam menangani mereka.
Yang justru terjadi belakangan ini, kata Amrizal, ada pihak-pihak tertentu yang memprovokasi warga agar melakukan penolakan terhadap kehadiran pengungsi itu. Hal ini yang membuat nasib para pengungsi di Aceh jadi tidak menentu.
“Kasihan mereka sebab Rohingya telah menjadi warga dunia yang tidak punya negara,” kata Amrizal.
Sementara dari sisi agama, yang tampil berbicara adalah Dr Abdul Ghani Isa, salah satu ketua komisi MPU Aceh. Ia menilai, sudah kewajiban masyarakat Aceh menerima kehadiran pengungsi itu, apalagi mereka merupakan masyarakat muslim.
“Ada ukhuwah Islamiyah yang harus menjadi pegangan kita. Di samping itu, mereka adalah tamu yang harus kita muliakan sebab budaya Aceh sangat memuliakan tamu,” katanya.
Namun beberapa peserta sempat bertanya, sampai kapan tamu itu akan mendapat kemuliaaan mengingat para pengungsi itu sudah hadir di Aceh selama beberapa tahun. Sementara di dalam Islam, pelayanan terhadap tamu ada batasnya.
Menanggapi pertanyaan ini, Abdul Ghani terpikir untuk membawa masalah ini dalam sidang MPU agar nantinya terbit fatwa terkait cara pandang Islam dan budaya Aceh menyikapi kehadiran pengungsi Rohingya ini.
Terlepas dari perdebatan itu, pada prinsipnya Abdul Ghani dan Amrizal J Prang sepakat bahwa Indonesia wajib membantu etnis Rohingya itu. Sementara Dedy Andrian sebagai pembicara dari Pemerintah bersikukuh mengacu kepada regulasi yang ada. Hal itu yang membuat Pemerintah tetap melihat kehadiran etnis Rohingya tetap harus diwaspadai.
Forum konsolidasi masyarakat sipil Aceh terkait isu Rohingya ini rencananya juga akan diselenggarakan di Pidie, Lhokseumawe dan Aceh Timur. Forum LSM Aceh selaku penyelenggara akan merumuskan rekomendasi yang diperoleh untuk menjadi masukan bagi Pemerintah dan lebaga internasional dalam menerapkan kebijakan. *